Setiap muslim mengharap agar amalnya diterima di sisi Allah. Namun, perlu diingat bahwa sekedar harapan tidaklah cukup. Harapan harus dibarengi dengan usaha dan upaya.
Diantara upaya paling pokok untuk bisa meloloskan amal agar bisa diterima Allah adalah dengan melandasi amal tersebut dengan niat yang lurus. Karena dengan niat yang lurus maka amal-amal itu akan bisa bernilai kebaikan dan mendapatkan ganjaran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘innamal a’maalu bin niyaat’ yang artinya, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Meluruskan niat maknanya adalah ‘meniatkan amal itu sebagai bentuk ibadah dan penghambaan kepada Allah’, bukan semata-mata kebiasaan apalagi sekedar main-main. Inilah yang biasa disebut oleh para ulama fikih dengan niat amalan. Seperti misalnya niat sholat, niat puasa, dsb. Contohnya mandi pada hari jum’at bagi seorang lelaki muslim dewasa. Hal ini akan bisa bernilai pahala apabila dia niatkan untuk menjalankan sunnah, yaitu mandi pada hari jum’at. Namun, apabila dia hanya melakukan aktifitas mandi sebagai rutinitas belaka, tanpa ada niat dalam hati untuk menjalankan sunnah, maka hal itu tidak bernilai ibadah di sisi Allah. Hanya menjadi kebiasaan saja.
Di sisi lain, meluruskan niat ini juga dimaknakan dengan mengikhlaskan amal tersebut untuk Allah. Niat semacam ini biasa disebut dengan istilah niat ‘ma’mul lahu’ atau niat untuk siapa amal itu ditujukan. Artinya, segala amal kebaikan yang kita lakukan haruslah murni karena Allah dan mencari pahala dari-Nya, bukan untuk mencari pujian atau kedudukan di mata manusia. Inilah yang Allah perintahkan dalam ayat-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)
Dengan kata lain, amal itu harus bersih dari syirik dan riya’. Bersih dari syirik maksudnya terbebas dari segala bentuk syirik akbar atau kekafiran akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari islam. Sebab apabila pelakunya sudah keluar dari Islam alias murtad maka semua amalnya tidak akan diterima di sisi Allah. Bersih dari riya’ maksudnya terbebas dari berbagai bentuk syirik ashghar yang membuat pahala amalan tersebut menjadi lenyap. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh apabila kamu berbuat syirik pastilah lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)
Mengikhlaskan amal untuk Allah bukanlah perkara ringan. Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang dengan keras dalam menundukkan jiwaku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan demi mencapai ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih sulit daripada niatku, karena ia kerapkali berbolak-balik.” Bahkan sebagian ulama berkata, “Sesuatu yang paling mahal/sulit di dunia ini adalah ikhlas.”
Sebuah amal yang sama bisa mendatangkan balasan yang berbeda disebabkan kondisi hati dan niat yang berbeda pada diri pelakunya. Oleh sebab itu para ulama kita semacam Ibnul Qayyim, Syaikh As-Sa’di dan yang lainnya menyatakan, bahwa ‘sesungguhnya amal-amal itu berbeda-beda tingkat keutamaannya bergantung pada apa-apa yang bersemayam di dalam hati pelakunya; yaitu keikhlasan dan keimanan’. Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niat.”
Kalimat syahadat tidak ada harganya apabila tidak dilandasi dengan keikhlasan. Begitu pula sholat, zakat, sedekah, haji, jihad, dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkar. Semua amalan akan menjadi sia-sia bahkan menelurkan dosa apabila keikhlasan tidak menghiasi hati para pelakunya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka lakukan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23)
Sebuah kesalahan saja -dalam perkara akidah dan iman- bisa menyebabkan seluruh amalan tidak diterima. Seperti kasus yang menimpa sebagian penduduk Bashrah yang menganut paham qadariyah/mengingkari takdir. Dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma tentang keadaan mereka itu, “Seandainya salah seorang mereka ada yang berinfak dengan emas sebesar Uhud maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.”
Hal ini menunjukkan bahwa mengingkari salah satu rukun iman atau tidak meyakininya adalah termasuk kekafiran yang membatalkan agama. Dengan sebab itulah semua amal yang dilakukannya tidak bisa mendatangkan pahala; karena ia dilandasi dengan kekafiran. Padahal, apabila kita cermati, perkara iman kepada takdir ini adalah berkaitan dengan urusan hati. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masalah hati adalah sesuatu yang amat samar.
Dengan demikian, seorang muslim harus senantiasa waspada. Seorang muslim tidak boleh merasa aman apalagi menjamin bahwa amalnya pasti diterima Allah. Seorang muslim harus berada diantara rasa harap dan cemas. Berharap amalnya diterima, walaupun amalnya banyak menyimpan aib dan kekurangan. Di sisi lain, dia juga cemas apabila amal-amal itu tidak diterima karena faktor-faktor tersembunyi yang dapat menghapus pahala amal-amalnya. Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitab sahihnya membuat bab dengan judul ‘bab rasa takut seorang mukmin akan terhapusnya amalnya dalam keadaan tidak disadari olehnya’.
Sebagian salaf ada yang mengatakan, “Seandainya aku bisa mengetahui bahwa Allah telah menerima dariku satu kali sujud saja, niscaya aku mengangankan untuk mati sekarang juga.” Hal itu karena Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah hanya akan menerima -amal- dari orang-orang yang bertakwa.” Artinya; apabila amalan orang itu diterima Allah maka itu maknanya dia termasuk orang yang bertakwa. Sementara balasan bagi orang yang bertakwa dan mati di atasnya adalah surga.
Oleh sebab itu penting bagi kita untuk menyadari hakikat diri kita masing-masing. Jangan sampai kita terpedaya dan terbuai oleh sanjungan dan pujian manusia. Allah yang lebih mengetahui keadaan diri kita, bahkan Allah lebih mengerti tentang kita daripada diri kita sendiri. Adapun orang lain hanyalah melihat dari apa yang tampak saja bagi mereka. Oleh sebab itu, sungguh indah ucapan sebagian ulama, “Orang yang berakal itu adalah yang mengerti hakikat dirinya sendiri dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang yang tidak mengenali seluk-beluk dirinya.”
Suatu ketika, Imam Ahmad diberi tahu oleh seorang muridnya yang bernama Abu Bakar mengenai pujian dan penghargaan manusia kepada beliau. Maka Imam Ahmad bin Hanbal -seorang imam ahlus sunnah dan pejuang akidah- menjawab, “Wahai Abu Bakar, apabila seorang itu telah mengerti tentang hakikat dirinya maka tidaklah berguna baginya ucapan orang.” Dikisahkan pula, ketika mendengar doa yang diucapkan oleh sebagian orang untuk beliau -sebagai ekspresi penghargaan dan kekaguman- maka beliau menanggapinya seraya menukil hadits ‘innamal a’maalu bil khawaatim’ yang artinya, “Sesungguhnya amal-amal itu ditentukan oleh akhirnya.”
Seolah-olah beliau ingin mengatakan kepada orang-orang bahwa ‘Amalan kita belum tentu diterima. Sebab amal-amal itu akan ditentukan nanti pada akhirnya. Apakah kita bisa mati di atas iman ataukah tidak. Jadi, jangan merasa aman dan hebat dengan amal yang kita lakukan’. Dengan keyakinan dan perasaan semacam inilah para ulama kita mengajarkan. Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Aku berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.”